Pada zaman
dahulu, di sebuah dusun di Indragiri Hilir hiduplah seorang janda bernama Mak
Minah dengan ketiga orang anaknya. Anak yang pertama bernama Diang, seorang
wanita. Sementara dua orang yang lain adalah laki-laki yang masing-masing
bernama Utuh dan Ucin. Untuk memenuhi kebutuhan hidup ketiga anaknya, MakMinah
harus selalu bekerja. Pekerjaan Mak Minah adalah berjualan kayu bakar ke pasar. Ketiga anak Mak Minah sangat nakal.
Mereka tidak mau mendengarkan nasihat Mak Minah. Ketiganya kerap membantah perintah
dari ibunya. Mereka hanya suka bermain-main saja, bahkan hingga larut malam.
Mak Minah sering merasa sedih dengan kelakukan anak-anaknya. Ia sering
mendoakan anak-anaknya agar sadar dan mau menghormati orang tuanya.
Pada keesokan harinya Mak Minah menyiapkan banyak makanan untuk anak-anaknya. Setelah itu ia pergi ke sungai dan mendekati sebuah batu sambil berbicara. Batu tersebut juga bisa membuka lalu menutup kembali, layaknya seekor kerang. Orang-orang sering menyebutnya dengan batu betangkup.
“Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya tak sanggup lagi hidup dengan ketiga anak saya yang tidak pernah menghormati orang tuanya,” kata Mak Minah.Batu betangkup pun kemudian menelan tubuh Mak Minah, hingga yang tertinggal dari tubuh Mak Minah sebagian rambutnya saja.
Pada keesokan harinya Mak Minah menyiapkan banyak makanan untuk anak-anaknya. Setelah itu ia pergi ke sungai dan mendekati sebuah batu sambil berbicara. Batu tersebut juga bisa membuka lalu menutup kembali, layaknya seekor kerang. Orang-orang sering menyebutnya dengan batu betangkup.
“Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya tak sanggup lagi hidup dengan ketiga anak saya yang tidak pernah menghormati orang tuanya,” kata Mak Minah.Batu betangkup pun kemudian menelan tubuh Mak Minah, hingga yang tertinggal dari tubuh Mak Minah sebagian rambutnya saja.
Menjelang
sore hari, ketiga anaknya mulai merasa heran. Mereka sejak pagi tidak menjumpai
emak mereka. Akan tetapi karena makanan yang ada cukup banyak, mereka akhirnya
cuma makan lalu bermain-main kembali. Setelah hari kedua, makanan pun mulai
habis. Anak-anak Mak Minah mulai kebingungan dan merasa lapar. Sampai malam
mereka kebingungan mencari emaknya. Barulah pada keesokan harinya setelah
mereka pergi ke tepi sungai, mereka menemukan ujung rambut Mak Minah yang
terurai ditelan batu betangkup.
“Wahai Batu Batangkup, kami membutuhkan emak kami. Tolong keluarkan emak kami dari perutmu,” ratap mereka.
“Tidak!!! Kalian hanya membutuhkan emak saat kalian lapar. Kalian tidak pernah menyayangi dan menghormati emak,” jawab Batu Batangkup. Mereka terus meratap dan menangis.
“Kami berjanji akan membantu, menyayangi dan menghormati emak,” janji mereka. Akhirnya batu betangkup pun mengabulkan ratapan ketiga anak Mak Minah. Mak Minah dikeluarkan dari tangkupan batu betangkup. Mereka pun menjadi rajin membantu emak dan menyayangi Mak Minah.
“Wahai Batu Batangkup, kami membutuhkan emak kami. Tolong keluarkan emak kami dari perutmu,” ratap mereka.
“Tidak!!! Kalian hanya membutuhkan emak saat kalian lapar. Kalian tidak pernah menyayangi dan menghormati emak,” jawab Batu Batangkup. Mereka terus meratap dan menangis.
“Kami berjanji akan membantu, menyayangi dan menghormati emak,” janji mereka. Akhirnya batu betangkup pun mengabulkan ratapan ketiga anak Mak Minah. Mak Minah dikeluarkan dari tangkupan batu betangkup. Mereka pun menjadi rajin membantu emak dan menyayangi Mak Minah.
Akan tetapi, hal tersebut ternyata tidak
bertahan lama. Beberapa waktu kemudian mereka berubah sifat kembali
seperti semula. Suka bermain-main dan malas membantu orang tua.
Mak Minah pun kembali sedih. Ia lalu mengunjungi lalu batu betangkup di tepi sungai. Ia kemudian ditelan lagi oleh batu betangkup tersebut. Anak-anak Mak Minah masih terus sibuk bermain-main. Menjelang sore hari, barulah mereka sadar bahwa emak mereka tak ada lagi. Mereka pun kembali mengunjungi batu betangkup di tepi sungai sambil meratap meminta agar emak mereka dikeluarkan oleh batu betangkup. Akan tetapi, kali ini batu betangkup sudah marah.
Mak Minah pun kembali sedih. Ia lalu mengunjungi lalu batu betangkup di tepi sungai. Ia kemudian ditelan lagi oleh batu betangkup tersebut. Anak-anak Mak Minah masih terus sibuk bermain-main. Menjelang sore hari, barulah mereka sadar bahwa emak mereka tak ada lagi. Mereka pun kembali mengunjungi batu betangkup di tepi sungai sambil meratap meminta agar emak mereka dikeluarkan oleh batu betangkup. Akan tetapi, kali ini batu betangkup sudah marah.
Ia lalu
berkata “Kalian memang anak nakal. Penyesalan kalian kali ini tidak ada
gunanya,” kata batu batangkup sambil menelan mereka. Batu batangkup pun masuk
ke dalam tanah dan sampai sekarang tidak pernah muncul kembali.
Nilai Moral : Anak-anak khususnya, dan semua orang pada umumnya agar bisa bersikap baik terhadap orang tua. Rajin membantu, menyayangi dan tidak membantah perintah kedua orang tua.
Nilai Moral : Anak-anak khususnya, dan semua orang pada umumnya agar bisa bersikap baik terhadap orang tua. Rajin membantu, menyayangi dan tidak membantah perintah kedua orang tua.
Pendapat : Menurut saya cerita ini memberikan
pembelajaran hidup yang sangat baik namun untuk kenyataan yang ada saya kurang
yakin karena kurang logis bahwa ada sebuah batu yang dapat memakan dan
mengembalikan kembali seorang manusia namun di daerah setempat terdapat sebuah
batu yang diyakini batu belah batu betungkup seperti di cerita tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar